Akulturasi Hindu-Buddha
Sejarah dan Kedatangan Warga Tionghoa di Desa Adat Kembangsari
Sejarah kedatangan warga Tionghoa di Desa Adat Kembangsari bermula pada abad ke-10, ketika Dinasti Tang di Tiongkok mengirimkan utusan ke berbagai wilayah, termasuk Bali. Salah satu utusan terkenal adalah Kang Ting Yi, yang dikirim oleh Raja Jaya Pangus untuk menjalin hubungan dengan kerajaan di Bali. Setelah tiba di pelabuhan Singaraja, Kang Ting Yi dan pengikutnya mulai menyebar ke seluruh wilayah Bali, termasuk Kembangsari, yang saat itu masih merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Bangli. Keberadaan warga Tionghoa di Kembangsari semakin diperkuat dengan peran mereka dalam menjaga perbatasan antara Kerajaan Bangli dan Buleleng, terutama selama masa konflik antara kedua kerajaan ini.
Warga Tionghoa yang menetap di Desa Adat Kembangsari tidak hanya menjadi penduduk biasa, tetapi juga mengambil peran strategis dalam pertahanan kerajaan. Mereka menjaga perbatasan, yang mencerminkan kepercayaan dan hubungan erat antara penguasa lokal dan komunitas Tionghoa. Keberadaan mereka selama berabad-abad telah menciptakan fondasi bagi interaksi budaya yang kaya dan beragam, yang kelak menjadi dasar dari proses akulturasi yang berkembang di Kembangsari.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961, yang memberikan pilihan kepada warga asing di Indonesia, termasuk warga Tionghoa, untuk memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) atau kembali ke negara asal mereka. Banyak warga Tionghoa yang memilih kembali ke Tiongkok, namun sebagian lainnya tetap tinggal dan berintegrasi dengan masyarakat setempat. Bagi yang kembali ke Tiongkok, mereka membentuk komunitas yang dikenal sebagai “Kampung Bali” di Cencau, Hokien, yang tetap memelihara budaya dan bahasa Bali sebagai bagian dari identitas mereka.
Akulturasi Budaya dan Keagamaan
Akulturasi antara budaya Tionghoa-Buddha dan Hindu-Bali di Desa Adat Kembangsari mencerminkan keragaman budaya yang harmonis di Bali. Warga Tionghoa yang tiba di desa adat Kembangsari membawa tradisi dan agama Buddha, namun seiring waktu mereka beradaptasi dengan budaya lokal yang mayoritas Hindu melalui interaksi sosial, perkawinan campuran, dan kerja sama. Terdapat dua jenis tempat ibadah di desa adat Kembangsari, yaitu Koncho untuk warga Tionghoa yang menganut Buddha dan Sanggah/Merajan untuk Hindu-Bali. Warga Tionghoa juga menghormati leluhur Hindu mereka dengan mendirikan Merajan, menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal. Ajaran Tridharma, yang menggabungkan Konghucu, Buddha, dan Tao, menjadi fondasi spiritual bagi warga Tionghoa dan sering terintegrasi dengan ajaran Buddha Mahayana di Bali, menciptakan sinergi unik dalam praktik keagamaan di Desa Adat Kembangsari.
Sejarah Dan Kedatangan Warga Tionghoa di Desa Adat Kembangsari
Sejarah kedatangan warga Tionghoa di Kembangsari bermula pada abad ke-10, ketika Dinasti Tang di Tiongkok mengirimkan utusan ke berbagai wilayah, termasuk Bali. Salah satu utusan terkenal adalah Kang Ting Yi, yang dikirim oleh Raja Jaya Pangus untuk menjalin hubungan dengan kerajaan di Bali. Setelah tiba di pelabuhan Singaraja, Kang Ting Yi dan pengikutnya mulai menyebar ke seluruh wilayah Bali, termasuk Kembangsari, yang saat itu masih merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Bangli. Keberadaan warga Tionghoa di Kembangsari semakin diperkuat dengan peran mereka dalam menjaga perbatasan antara Kerajaan Bangli dan Buleleng, terutama selama masa konflik antara kedua kerajaan ini.
Warga Tionghoa yang menetap di Kembangsari tidak hanya menjadi penduduk biasa, tetapi juga mengambil peran strategis dalam pertahanan kerajaan. Mereka menjaga perbatasan, yang mencerminkan kepercayaan dan hubungan erat antara penguasa lokal dan komunitas Tionghoa. Keberadaan mereka selama berabad-abad telah menciptakan fondasi bagi interaksi budaya yang kaya dan beragam, yang kelak menjadi dasar dari proses akulturasi yang berkembang di Kembangsari.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961, yang memberikan pilihan kepada warga asing di Indonesia, termasuk warga Tionghoa, untuk memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) atau kembali ke negara asal mereka. Banyak warga Tionghoa yang memilih kembali ke Tiongkok, namun sebagian lainnya tetap tinggal dan berintegrasi dengan masyarakat setempat. Bagi yang kembali ke Tiongkok, mereka membentuk komunitas yang dikenal sebagai “Kampung Bali” di Cencau, Hokien, yang tetap memelihara budaya dan bahasa Bali sebagai bagian dari identitas mereka.
Akulturasi Budaya dan Keagamaan
Akulturasi antara budaya Tionghoa-Buddha dan Hindu-Bali di Kembangsari mencerminkan keragaman budaya yang harmonis di Bali. Warga Tionghoa yang tiba di desa adat Kembangsari membawa tradisi dan agama Buddha, namun seiring waktu mereka beradaptasi dengan budaya lokal yang mayoritas Hindu melalui interaksi sosial, perkawinan campuran, dan kerja sama. Terdapat dua jenis tempat ibadah di desa adat Kembangsari, yaitu Koncho untuk warga Tionghoa yang menganut Buddha dan Sanggah/Merajan untuk Hindu-Bali. Warga Tionghoa juga menghormati leluhur Hindu mereka dengan mendirikan Merajan, menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal. Ajaran Tridharma, yang menggabungkan Konghucu, Buddha, dan Tao, menjadi fondasi spiritual bagi warga Tionghoa dan sering terintegrasi dengan ajaran Buddha Mahayana di Bali, menciptakan sinergi unik dalam praktik keagamaan di desa adat Kembangsari.
Bukti Sejarah
Warisan sejarah dari akulturasi Tionghoa-Buddha dan Hindu-Bali di Desa Adat Kembangsari dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Salah satu bukti paling nyata adalah keberadaan kuburan China yang tersebar di Kembangsari. Kuburan ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi warga Tionghoa, tetapi juga mencerminkan bagaimana mereka telah menjadi bagian dari sejarah dan budaya setempat selama berabad-abad.
Selain kuburan, terdapat juga Koncho, tempat ibadah bagi warga Tionghoa yang menganut agama Buddha. Koncho ini masih terjaga dengan baik hingga saat ini, menjadi saksi bisu dari proses akulturasi yang berlangsung selama berabad-abad. Keberadaan Koncho di Kembangsari menunjukkan bagaimana tradisi keagamaan warga Tionghoa tetap hidup dan dihormati, meskipun mereka telah berbaur dengan budaya Hindu setempat.
Keunikan Desa Adat Kembangsari juga tercermin dalam pemilihan lokasi pemukiman warga Tionghoa, yang dipengaruhi oleh prinsip fengsui dari tradisi Tionghoa dan Asta Kosala Kosali dari tradisi Hindu Bali. Kedua prinsip ini menekankan pentingnya harmoni antara manusia dan alam dalam pemilihan lokasi tempat tinggal. Warga Tionghoa yang menetap di Desa Adat Kembangsari percaya bahwa lokasi ini strategis dan membawa keberuntungan, sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di daerah ini dibandingkan dengan daerah lainnya di Bali.
Warisan ini tidak hanya terlihat dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Desa Adat Kembangsari. Proses akulturasi ini telah menciptakan komunitas yang harmonis, di mana nilai-nilai budaya dan keagamaan dari kedua tradisi saling menghormati dan memperkaya satu sama lain. Harmoni ini menjadi warisan yang terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Kembangsari sebagai contoh keberhasilan akulturasi budaya di Bali.